Sabtu, 17 Oktober 2015

Ethical Governance


a.    Governance System
Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi:
  1. Presidensial
  2. Parlementer
  3. Semipresidensial
  4. Komunis
  5. Demokrasi liberal
  6. liberal
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut.
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit,Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.
b.    Budaya etika
Ú Gambaran mengenai perusahaan, mencerminkan kepribadian para pimpinannya
Ú Budaya etika adalah perilaku yang etis.
Ú Penerapan budaya etika dilakukansecara top-down.
Ú Langkah-langkah penerapan :
Ú Penerapan Budaya Etika
Ú Corporate Credo :
Pernyataan ringkas mengenai nilai-nilai yang dianut dan ditegakkan perusahaan.
Ú Komitmen Internal :
• Perusahaan terhadap karyawan
• Karyawan terhadap perusahaan
• Karyawan terhadap karyawan lain.
Ú Komitmen Eksternal :
• Perusahaan terhadap pelanggan
• Perusahaan terhadap pemegang saham
• Perusahaan terhadap masyarakat
Ú Penerapan Budaya Etika
Ú Program Etika
Sistem yang dirancang dan diimplementasikan untuk mengarahkan karyawan agar melaksanakan
corporate credo
Contoh : audit etika
Ú Kode Etik Perusahaan
• Lebih dari 90% perusahaan membuat kode etik yang khusus digunakan perusahaan tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya.
• Contoh : IBM membuat IBM’s Business Conduct Guidelines (Panduan Perilaku Bisnis IBM)
c.    Mengembangkan Struktur Etika Korporasi
Struktur etika korporasi yang dimiliki perusahaan sebaiknya disesuaikan dengan kepribadian perusahaan tersebut. Selain itu perlu adanya pengembangan serta evaluasi yang dilakukan perusahaan secara rutin. Pengembangan struktur etika korporasi ini berguna dalam mencapai tujuan perusahaan yang lebih baik dan sesuai dengan norma yang ada.
Selain itu, membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

d.       Kode Perilaku Korporasi (Corporate Code of Conduct)
Kode perilaku korporasi (Corporate Code of Conduct) merupakan pedoman yang dimiliki setiap perusahaan dalam memberikan batasan-batasan bagi setiap karyawannya untuk menetapkan etika dalam perusahaan tersebut.  Kode perilaku korporasi yang dimiliki suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya, karena setiap perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda dalam menjalankan usahanya. Di dalam Perilaku korporatif, peran pemimpin sangat penting, antara lain, sebagai First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen, Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja, dan Pencetus dan Pengelola Strategi, dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.
Kode perilaku korporasi (Corporate Code of Conduct) juga dapat diartikan sebagai pedoman internal perusahaan yang berisikan Sistem Nilai, Etika Bisnis, Etika Kerja, Komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders.
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Corporate Code of Conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan.
Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam Corporate Code of Conduct.

e.    Evaluasi Terhadap Kode Perilaku Korporasi
Evaluasi terhadap kode perilaku korporasi dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005. Evaluasi sebaiknya dilakukan secara rutin sehingga perusahaan selalu berada dalam pedoman dan melakukan koreksi apabila diketahui terdapat kesalahan.

Contoh kasus:
1.            Korupsi
a.    Korupsi pajak Gayus Tambunan
b.   Korupsi penggunaan anggaran dana pengganti defisit melalui program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak untuk RSJ Surakarta oleh tiga pegawai negeri Inspektorat Jendral Departemen Kesehatan.
c.    SOEHARTO
Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.
d.   PERTAMINA
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
e.    Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus
Kasus – kasus Korupsi bahkan memiliki situs sendiri tentang kasus-kasus yang terjadi. Situs itu adalah : http://infokorupsi.com
2.      Nepotisme
Kasus  Busang Yang Menyeret Nama Menteri Sudjana
Busang adalah tambang emas terbesar di dunia. Proyek Busang I diperkirakan mempunyai kandungan sekitar 47 juta ounces. Kalau 1ounces itu besarnya sekitar 28.35 gram, artinya deposit Busang I itu saja nilainya mendekati Rp 100 trilyun -- lebih besar dari APBN RI tahun lalu.
                        Sudah ramai diberitakan bahwa perusahaan berusia muda Kanada, Bre-X Minerals, dikabarkan menggandeng putra Presiden RI, Sigit Harjojudanto, untuk menggarap proyek raksasa itu. Tapi, akibat sengketa kepemilikan saham antara Bre-X dengan perusahaan lokal milik aktivis PDI Jusuf Merukh, maka kontrak karya (contracts of works) untuk Bre-X tak kunjung muncul dari Departemen Pertambangan dan Energi.
                        Di lain pihak, ada konsorsium lain yang ingin juga menambang Busang. Konsorsium itu terdiri dari Siti Hardijanti Rukmana (putri Presiden Soeharto), Airlangga Hartarto (anak Menko Hartarto), dan I. B. Dharma Yoga (anak Menteri IB Sudjana). Bahkan, belakangan beredar kabar bahwa Departemen Pertambangan menyetujui konsorsium baru ini menggandeng perusahaan Kanada yang lebih senior, Barrick Gold Corp, dan memegang 75 persen saham Busang. Bre-X diberitakan hanya kebagian 25 persen. Itu pun, kedua pihak masih harus menyetorkan 10 persen untuk pemerintah Indonesia.
                        Soal Busang ini sangat membuat curiga banyak kalangan setelah Menteri I. B. Sudjana mencopot kewenangan Dirjen Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto untuk memberikan izin kontrak kerja (contracts of work) pada pertengahan November 1996 lalu.
                        Di DPR, I. B. Sudjana menjelaskan bahwa usaha pemerintah untuk meminta 10 persen saham di Busang sudah merupakan langkah maju, meskipun sebuah sumber TEMPO Interaktif tak setuju dengan intervensi yang terlalu jauh model Sudjana ini (Lihat:Busang, Antara Jakarta dan Toronto) Kemudian, Sudjana juga mengungkapkan bahwa pihaknya akan meminta BUMN PT Aneka Tambang dan PT Timah untuk ikut memiliki saham di Busang. Dengan demikian, cerita pembagian saham di Busang agaknya belum final.
                        Walaupun demikian, I. B. Sudjana tak menjelaskan mengapa anaknya ikut-ikutan bermain di Busang.
3.            Kolusi
                a.   Tindak kolusi antara PDIP dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom
               b.   Kasus kolusi antara Grup Bakrie dan pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan
4.            Melanggar aturan
Tindakan melanggar aturan ini misalnya adalah tidak memenuhi kewajiban yang seharusnya. Misalnya :
a.          Sekretaris Lurah Serua/ Ciputat Syaiful Bahri bolos kerja hanya untuk mendukung  kandidat walikota Ciputat yakni Airin. Bahkan ia dan beberapa PNS yang bolos lainnya menyogok wartawan dengan seekor kambing agar tidak memberitakan mereka di media massa.
5.                Asusila
a.          Kasus asusila Penyanyi Dangdut Maria Eva dan anggota Fraksi Partai Golkar DPR Yahya Zain
Seperti diberitakan, skandal seks Maria Eva dan Yahya Zaini terbongkar setelah beredar adegan asusila di masyarakat yang diduga dilakukan tahun 2004 lalu. Akibat skandal itu, Yahya terpaksa mengundurkan diri sebagai Ketua DPP Partai Golkar dan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR.
Maria Eva sempat mengaku melakukan aborsi janin hasil hubungan gelap dengan Yahya Zaini dengan persetujuan Yahya Zaini dan isterinya. Di tengah sorotan pemberitaan yang gencar, muncul kabar Yahya Zaini sempat diperas Rp 5 miliar. Kasus ini sungguh menggelitik, yang seharusnya seorang wakil rakyat emberi contoh tetapi malah menjadi pembicaraan kurang baik di tengah masyarakat.
Jadi etika pemerintahan di Indonesia belum benar-benar diterapkan dengan baik. Ini disesabkan karena adanya patologi etika birokrasi pemerintahan. Patologi berupa hambatan atau penyakit dalam birokrasi pemerintahan sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal.

                       Patologi birokrasi dalam  etika pemerintahan berupa :
    1) Patologi akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa : penyalahgunaan wewenang, statusquo, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong menghindari keritik, nopoteisme, arogan, tidak adil, paranoia,  otoriter, patronase, xenopobia dsb;
2)  Patologi akibat pengetahuan dan keterampilan berupa : puas diri, tidak teliti, bertindak  tanpa berpikir, counter produktif, tidak mau berkembang/ belajar, pasif, kurang prakarsa/inisiatif, tidak produktif, stagnasi dsb.
3)  Patologi karena tindakan melanggar hukum berupa : markup, menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, kriminal, sabotase, dsb.
4)  Patologi akibat keprilakukan berupa : kesewenangan, pemaksaan, konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistik, dramatisiasi, indisipliner, inersia, tidak berkeprimanusiaan, negatifisme, kepentingan  sendiri, non profesional, vested interest, pemborosan  dsb.
5) Patologi akibat sitasi internal berupa : tujuan dan sasaran tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi, eksstrosi/pemerasan, pengangguran  terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak adan kinerja, miskomunikasi dan informasi, spoil sisten, oper personil dsb.
Agar Etika Pemerintahan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pembaharuan perilaku etika penyelenggara pemerintahan dan kelembagaan birokrasi seperti :
¡  Redifinisi, reorientasi dan revitalisasi perilaku birokrasi politik dan administrasi pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan negara, bangsa dan masyarakat. 
¡  Pembaharuan sistem kelembagaan pemerintahan yang berorientasi pada kinerja organisasi;
¡  Pembaharuan manajemen  pemerintahan yang memiliki kepemimpinan visoner dan  akuntabilitas pemerintahan
¡  Perilaku individu  Aparatur birokrasi Pemerintahan pada standar berkualifikasi, kompetensi dan profesional dan berbudaya
¡  struktur kelembagaan birokrasi pemerintahan berbasis kompetensi
¡  fungsi birokrasi pemerintahan ( kebijakan, pelayanan, kemitraan, kerjasama,  pemberdayaan dsb )
¡  proses birokrasi pemerintahan dengan pendekatan manajemen strategis
¡  perilaku birokrasi pemerintahan berorientasi  nilai, norma, aturan, etika, moral, adat istiadat dan budaya birokrasi
https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pemerintahan


Kesimpulan
Etika pemerintahan tidaklah berdiri sendiri, penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Itulah sebabnya, maka sebuah pemerintahan yang bersih, yang segala tingkah laku dan produk kebijakannya berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya dapat dinikmati oleh refresentasi pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat dengan lebih baik. Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku.
Etika dalam pemerintahan sudah memiliki landasan tersendiri, namun di Indonesia kerap terjadi pelanggaran etika, baik di pemerintahan tingkat daerah sampai nasional. Sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, fasilitator dan pengarah pembangunan, pelayan masyarakat dan sebagai motivator dalam pemberdayaan masyarakat, penulis melihat, merasakan dan mengalami betapa rumit dan susahnya kita membangun pemahaman, persepsi dan tindakan operasional yang sama dalam mengelola pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, padahal seperti tadi telah penulis sampaikan, sudah begitu banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan untuk dijadikan pedoman dan petunjuk untuk itu. Baik atau tidak baik jalannya roda pemerintahan, kegiatan pembangunan, pelayanan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat ternyata tidak hanya tergantung pada pemerintah saja, tidak hanya tergantung pada DPRD saja dan juga tidak hanya tergantung pada masyarakat saja, tetapi sangat ditentukan oleh ketiga komponen tadi secara bersama-sama, apakah mempunyai komitment dan kemauan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik atau tidak.
Saran
Aparatur pemerintah seyogianya menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi dengan kata lain, sudah bukan waktunya lagi, pemerintah dapat begitu saja mengambil hak milik orang lain tanpa kewenangan yang jelas dan disertai pemberian imbalan atau ganti rugi yang wajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar